Andai Saja…
17 Juli 2021.
Malam itu, Bandung sedang tenang. Angin berembus lembut dari celah jendela ruang makan, membawa aroma nasi hangat dan lauk yang baru saja matang. Kami sekeluarga sedang menikmati makan malam seperti biasanya, ayah, ibu, dan kakak-kakak saya bercanda ringan, tak ada tanda apa pun bahwa malam itu akan berubah menjadi malam yang tak akan saya lupakan.
Tiba-tiba, suara dering telepon memecah suasana. Ayah mengangkat, dan dari seberang terdengar suara panik, berat, tergesa-gesa. Suara seseorang yang kehabisan napas karena cemas. Ia mengatakan bahwa kakak sepupu saya pingsan. Detik itu juga, suasana meja makan yang tadinya hangat berubah dingin. Saya hanya bisa menatap wajah-wajah keluarga yang tiba-tiba tegang. Dalam hati, saya tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.
Mereka berlari ke rumah sakit terdekat. Tapi rumah sakit penuh. Semua tempat tidur sudah terisi. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari klinik, puskesmas, semuanya sama, tertutup oleh situasi yang lebih besar dari diri siapa pun. Udara malam terasa sesak, bahkan bagi yang sehat. Tabung oksigen menjadi barang langka, mahal, lebih sulit dicari daripada harapan.
Saya mendengar kabar bahwa ia masih berjuang. Kami menunggu kabar baik, kabar apa pun, dari Pasuruan, Surabaya, sampai Malang. Tapi malam terus berganti, dan kabar baik itu tak pernah datang.
Hingga akhirnya, tangis pecah di ujung telepon. Suara lirih, patah, dan di baliknya ada keheningan yang lebih menakutkan daripada jeritan apa pun. Ia telah pergi. Seseorang yang begitu dekat, begitu hangat, kini tinggal nama dan kenangan.
Andai saja malam itu satu rumah sakit saja masih punya ruang kosong, mungkin semuanya berbeda.
Andai saja kami bisa lebih cepat, lebih tanggap, atau lebih siap, mungkin napasnya masih bisa diselamatkan.
Andai saja pandemi tak pernah datang, mungkin tak ada jarak yang memisahkan keluarga dari keluarga sendiri.
Namun dunia tak berjalan dengan “andai saja.”